Aceh
memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak
menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda
berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin
mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai
kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka.
Situasi
ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris
dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871
itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan
di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas
merupakan ancaman bagi Aceh.
Karena
itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan
Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura.
Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak
ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh
tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
memaklumkan perang kepada Aceh.
Sebelum
terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000
orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan
disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di
bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap
Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh
dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni
tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah
Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan
Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan
dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh
dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda.
Tampilah
tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku
Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian
bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di
istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang
Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada
akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara
besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan
8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang
akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para
tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di
luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian
digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.
Sementara
itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba
kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda
diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata
mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari
betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui
rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya.
Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli
tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan
menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil
penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil
penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa
persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat
besar di kalangan rakyat.
Dengan
demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik "de
vide et impera ( memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama
yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan
keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan
pemerintahan kolonial.
Belanda
mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada bulan
Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan
kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250
orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan
Panglima Polim menghantam Belanda.
Tentara
Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar
dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim
menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sementara
itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan
di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September
1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda
melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan
terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk
menandatangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
1)
Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2)
Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3)
Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan
ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah
Belanda.
Demikianlah Materi Sejarah
Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda (1873–1904), semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment