Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan
perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh
pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan
adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena
beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup
beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu,
dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima
tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara
agama/kepercayaan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan
Etnis/Budaya Orang Donggo
ASAL USUL MASYARAKAT BIMA (DOU MBOJO)
(Kandidat Magister pada Ilmu Politik UGM Yogyakarta Kelahiran Ncera, Bima, NTB)
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.
Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada. *(dari berbagai sumber).
(Kandidat Magister pada Ilmu Politik UGM Yogyakarta Kelahiran Ncera, Bima, NTB)
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.
Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada. *(dari berbagai sumber).
Oleh : Zainudin
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan
perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh
pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan
adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena
beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup
beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu,
dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima
tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara
agama/kepercayaan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya
Orang Donggo
Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah
menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah
pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata
tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan
mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat
ini.
Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah
Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian
lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi,
Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele. Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli
ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa
mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh
pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula,
seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha.
Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan
dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari
sebelum para pendatang tersebut datang. Kepercayaan asli nenek moyang mereka
adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu
inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga
sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin
gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen
menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut.
Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang
masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada
berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya
melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka
pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden). Berhadapan dengan kian gencarnya
arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup
berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi.
Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli
Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram
atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan
lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola
hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat
elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik.
Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah
begitu banyaknya mereka naik haji.
Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan
para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar,
Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur
dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya.
Para pendatang ini datang pada sekitar abad XIV, baik
yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan
agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya
bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan
pegawai pemerintah. Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa
generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai
keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi
polisi/tentara, pedagang dan lain-lain.
Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah
menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa
daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di
Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Orang Arab dan Melayu Orang Melayu umumnya
berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai
pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada
awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng.
Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup
cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah
pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima
sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat
tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup
variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi.
Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah
berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui
Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa
karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat
hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya Para pendatang ini datang dengan
latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai
pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari
Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang
kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para
pendatang lain.
Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima,
yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang
tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam
perekonomian Bima sangat signifikan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama
Kepercayaan Makakamba - Makakimbi
Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual
untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada
saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban
hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa
dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.
Agama Hindu
Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang
mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian
petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen
seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur
pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu
Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang,
tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu.
Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup
besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu
dan sebagian daerah Bolo.
Agama Kristen
Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan
agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda
dengan kenyataan hidup dan budaya mereka. Meskipun agama Kristen kurang
mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan
dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota
polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami
daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki
daerah-daerah pedalaman.
Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah
tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan
misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah
pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program
“Plan”. Namun, lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian
Majelis Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala
aktivitasnya.
Agama Islam
Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih
mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara
resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama
Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para
pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya
dianut oleh masyarakat pesisir.
Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan
dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan
agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima
yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan
sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan
keberadaan Pelabuhan Sape.
Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul
Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki
pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di
seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo
yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang.
Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya
masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa
generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus
komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin
meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di
daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat
dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.
Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul
satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na
Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima
harus dengan hukum Islam”.
Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa
kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima,
yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan
penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang
berdasarkan Islam dan kitabnya.
Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi
dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta
masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima.
Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan
berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di
rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap
sore dan malam hari.
Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang
bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah
Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah
dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara
Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu
jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk
menunaikan ibadah haji.
Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita
lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan
terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya
dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan
mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik
putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima.
No comments:
Post a Comment